Beranda | Artikel
Bagaimana Para Ulama Membela Hadits (2)
Sabtu, 23 Juli 2016

Ketiga: Merujuk buku asli perawi hadits

Cara ini digunakan oleh para ahli hadits untuk mengetahui kebenaran seorang perawi yang mengaku mendengar dari seorang syaikh, mereka meneliti dengan seksama buku asli perawi tersebut bahkan diperiksa juga kertasnya, tintanya dan tempat penulisannya. Zakaria bin Yahya Al Hulwani berkata: “Aku melihat Abu Dawud As Sijistani telah memberikan tanda kepada hadits Ya’qub bin Kasib di punggung kitabnya, maka kami bertanya mengapa ia melakukan itu?

Ia menjawab: “Kami melihat di musnadnya hadits-hadits yang kami ingkari, lalu kami meminta buku aslinya namun ia menolak, beberapa waktu kemudian ia mengeluarkan bukunya, ternyata kami dapati hadits-hadits tersebut tampak dirubah dengan (bukti) tinta yang masih baru yang tadinya hadits-hadits tersebut mursal tetapi ia menjadikannya musnad dan diberikan tambahan padanya.”

Keempat: Memeriksa lafadz dalam menyampaikan hadits

Ketika menyampaikan hadits, para perawi menggunakan lafadz-lafadz sesuai dengan keadaan ia mengambil hadits tersebut, bila ia mendengar langsung dari mulut syaikh atau syaikh yang membacakan kepadanya hadits, biasanya digunakan lafadz “Haddatsana” dan bila dibacakan oleh murid kepada syaikh biasanya menggunakan “Akhbarona” atau “Anbaana” dan ini semua lafadz-lafadz yang menunjukkan bahwa si perawi mendengar langsung dari Syaikh, dan ada juga lafadz-lafadz yang mengandung kemungkinan mendengar langsung atau tidak, seperti lafadz ‘an fulan (dari si fulan) atau qola fulan (berkata si fulan), lafadz seperti ini bisa dihukumi bersambung dengan dua syarat:

1. Memungkinkan bertemunya perawi itu dengan syaikhnya, seperti ia satu zaman dengan syaikhnya dan lain-lain.

2. Perawi tersebut bukan mudallis.

Bila salah satu dari dua syarat ini tidak terpenuhi maka sanadnya dianggap tidak bersambung atau lemah.

Kelima: Memeriksa ketsiqahan perawi-perawi hadits

Pemeriksaan para perawi hadits berporos pada dua point penting yaitu:

1. Kepribadian perawi dari sisi agama dan akhlaknya, atau yang disebut dalam ilmu hadits dengan ‘adaalah (adil).

Perawi yang adil menurut istilah ahli hadits adalah seorang muslim, baligh dan berakal, selamat dari sebab-sebab kefasiqan dan khowarim al muru’ah (adab-adab yang buruk). Dan sebab-sebab kefasiqan ada dua yaitu maksiat dan bid’ah. Dan kefasiqan yang merusak seorang perawi adalah fasiq karena maksiat (dosa besar) seperti minum arak, berzina, mencuri dan lain-lain.

Adapun bid’ah, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya, diantara mereka ada yang menolak perawi ahlul bid’ah secara mutlak, dan diantara mereka ada yang menerimanya selama tidak menghalalkan dusta dan diantara mereka ada yang memberikan perincian-perincian tertentu seperti tidak menyeru kepada bid’ahnya, tidak meriwayatkan hadits yang mendukung bid’ahnya, dan lain-lain.

Namun bila kita perhatikan secara cermat bahwa sifat perawi yang diterima adalah kejujuran perawi (tidak menghalalkan dusta), amanah dan terpecaya agama dan akhlaknya. Dan bila kita periksa keadaan perawi-perawi yang melakukan bid’ah, banyak diantara mereka yang mempunyai sifat demikian dan mereka melakukan bid’ah bukan karena sengaja melakukannya atau menganggapnya halal, akan tetapi karena adanya ta’wil (syubhat) sehingga periwayatannya diterima oleh para ulama, berbeda jika si perawi mengingkari perkara agama yang mutawatir dan bersifat pasti dalam agama (dlaruri) atau meyakini kebalikannya, maka perawi seperti ini wajib ditolak periwayatannya. Saya akan sebutkan beberapa perawi yang melakukan bid’ah namun diterima haditsnya:

Muhammad bin Rasyid, Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Tsiqah dan ia qadari (pengikut qadariyah).

Aban bin Taghlib, perawi yang tsiqah, dianggap tsiqah oleh imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in, dikatakan oleh ibnu ‘Adi: “Ekstrim dalam syi’ah”. Adz Dzahabi berkata: “Ia Syi’ah yang ekstrim namun shaduq (sangat jujur), maka untuk kita riwayatnya dan untuk dia kebid’ahannya”.

Abdurrazaq bin Hammam Ash Shan’ani tsiqah hafidz namun mempunyai keyakinan syi’ah. (syiah beliau hanya sebatas mengunggulkan Ali dan mencela Mu’awiyah. bukan syiah rafidah yg mengkafirkan para shahabat)

Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz bin Abi Rawwad, dianggap tsiqah oleh ibnu Ma’in dan lainnya. Abu Dawud berkata: “Tsiqah menyeru kepada aqidah murji’ah”.

Muhamad bin Imran Abu Abdillah Al Marzabani Al Katib shaduq tetapi ia mu’tazilah yang keras.

<<Artikel Sebelumnya “Bagaimana Para Ulama Membela Hadits”

Semua Artikel “Hadits”


Artikel asli: https://cintasunnah.com/bagaimana-para-ulama-membela-hadits-2/